-->

Menyanggah Penafsiran Yang Merendahkan Wanita

Menyanggah Penafsiran Yang Merendahkan Wanita
Menyanggah Penafsiran Yang Merendahkan Wanita

Sebagai muslim kita tidak boleh menelan mentah setiap tafsir yang kita baca. Kita harus mencaritahu lebih banyak untuk mendalami ilmu agar tidak keliru. Berikut sebuah pertanyaan mengenai tafsir ayat Al-Qur'an tentang as-sufaha (orang-orang  yang  belum  sempurna  akalnya)  itu ialah "wanita dan anak-anak." Untuk itulah kita harus memahami lebih jauh mengenai penafsiran tersebut dengan membaca sebuah artikel berupa sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepada Dr. Yusuf Al-Qardhawi tentang makna as-sufaha dalam surat an-Nisa' ayat 5.
Berikut Isi Pertanyaannya:

Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang  yang  belum sempurna  akalnya  (sufaha)  harta  (mereka  yang  ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai  pokok  kehidupan. Berilah  mereka  belanja  dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (an-Nisa' 5)
Majalah  al-Ummah  nomor  49  memuat  artikel  Saudari Hanan Liham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar  umat dan   penerjemah   Al-Qur'an,  Abdullah  Ibnu  Abbas,  bahwa as-sufaha (orang-orang  yang  belum  sempurna  akalnya)  itu ialah "wanita dan anak-anak."

Penulis   tersebut   menyangkal   penafsiran  itu,  meskipun diriwayatkan  dari  Ibnu   Abbas.   Menurutnya,   penafsiran tersebut  jauh  dari  kebenaran,  sebab  wanita  secara umum disifati  sebagai  tidak  sempurna  akalnya/bodoh   (salah), padahal   diantara  kaum  wanita  itu  terdapat  orang-orang seperti Khadijah, Ummu Salamah,  dan  Aisyah  dari  kalangan istri Nabi dan wanita-wanita salihah lainnya.

Sebagian  teman  ada  yang  mengirim surat kepada saya untuk menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir  tersebut. Apakah itu benar?

Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu?

Dan Inilah Jawaban Dari Dr. Yusuf Al-Qardhawi:

Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau  wanita dan   anak-anak,  adalah  penafsiran  yang  lemah,  meskipun diriwayatkan  dari  pakar  umat,  yaitu  Ibnu  Abbas   r.a., walaupun    sahih    penisbatan    kepadanya   atau   kepada penafsiran-penafsiran salaf lainnya.

Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat  ialah  bahwa penafsiran  sahabat  terhadap  Al-Qur'anul  Karim  itu tidak secara otomatis menjadi hujjah  bagi  dirinya  dan  mengikat terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfu', walaupun sebagian ahli hadits ada yang beranggapan demikian. Ia  hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. (yang wajib diterima perkataannya)."

Doa  Nabi  saw.  untuk  Ibnu  Abbas  agar Allah mengajarinya takwil, tidak  berarti  bahwa  Allah  memberinya  kemaksumam (terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya, tetapi makna doa itu ialah  Allah  memberinya  taufik  untuk memperoleh  kebenaran  dalam sebagian besar takwilnya, bukan seluruhnya.

Karena itu, tidak mengherankan kalau ada  beberapa  pendapat dan  ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.

Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang  yang mengikutinya    bahwa   yang   dimaksud   dengan   as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.

Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk isim mudzakkar (laki-laki),  mufradnya  (bentuk  tunggalnya) adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats (perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya adalah  mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana lazimnya  jamak  muannats,  sehingga  bentuk   jamak   lafal tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.

Kedua,  bahwa  kata  sufaha  adalah  isim  zaman (kata untuk mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan buruk   tindakannya.   Karena   itu,   kata-kata  ini  tidak disebutkan  dalam  Antara  lain   Qur'an   melainkan   untuk menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah;
"Apabila   dikatakan   kepada   mereka,   'Berimanlah   kamu sebagaimana  orang-orang   lain   telah   beriman,'   mereka menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?' Ingatlah,  sesungguhnya  merekalah orang-orang   yang   bodoh,   tetapi   mereka  tidak  tahu." (al-Baqarah: 13)

"Orang-orang  yang  kurang  akalnya  diantara  manusia  akan berkata,  'Apakah  yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?'   Katakanlah,  'Kepunyaan  Allah-lah  timur  dan barat;   dia   memberi   petunjuk    kepada    siapa    yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" (al-Baqarah: 142)
Apabila  lafal  sufaha  itu untuk mencela, maka bagaimanakah manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak  ia  usahakan? Bagaimana  seorang  perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal ia  bukan  yang  menciptakan  dirinya, melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
"...  sebagian  kamu  adalah  turunan dan sebagian yang lain ..." (Ali Imran: 195)
Dan disebutkan dalam suatu hadits:

"Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki." (HR. Ahmad  bin  Hanbal  6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula dalam Kanzul 'Ummal nomor 45559)

Demikian pula halnya anak-anak.  Allah  menciptakan  manusia dari  kondisi  yang  lemah  dan  dijadikan-Nya kehidupan itu bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian meningkat  remaja, lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal ia   tidak   pernah   berusaha   untuk  menjadi  kanak-kanak (melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?

Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir  modern,  akan  kita dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid  Ridha disebutkan:

"Yang  dimaksud  dengan  as-sufaha  disini ialah orang-orang yang  pemboros  yang  menghambur-hamburkan  hartanya   untuk sesuatu   yang   tidak   perlu  dan  tidak  seyogyanya,  dan membelanjakannya dengan cara yang buruk dan  tidak  berusaha mengembangkannya."

Beliau  (Rasyid  Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan salaf mengenai  maksud  lafal  sufaha.  Kemudian beliau   menguatkan   pendapat   yang   dipilih  Ibnu  Jarir (ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum,  meliputi  semua orang  yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, laki-laki maupun perempuan.

Ustadz al-Imam (Muhammad Abduh)  berkata,  "Dalam  ayat-ayat terdahulu  Allah  menyuruh  kita memberikan kepada anak-anak yatim harta-harta mereka dan memberikan  kepada  orang-orang perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
"Dan  janganlah  kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna   akalnya   harta   (mereka    yang    ada    dalam kekuasaanmu)..."(an-Nisa': 5)
Al-Imam  mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah kepada setiap anak yatim akan hartanya  bila  telah  dewasa, dan   berikan  kepada  tiap-tiap  perempuan  akan  maharnya, kecuali  apabila  salah  satunya  belum   sempurna   akalnya sehingga  tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada kondisi demikian kamu dilarang  memberikan  harta  kepadanya agar   tidak  disia-siakannya,  dan  kamu  wajib  memelihara hartanya itu sehingga ia dewasa.

Perkataan  amwaalakum  (hartamu)  bukan  amwaalahum   (harta mereka)  ,  yang  berarti  firman  itu ditujukan kepada para wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang  ada  didalam kekuasaan  mereka,  menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si  safih (anak  yang  belum/kurang  sempurna  akalnya) untuk memenuhi kebutuhannya, maka  wajib  bagi  si  wali  untuk  memberinya nafkah  dari  hartanya  sendiri.  Dengan  demikian, habisnya harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta si  wali.  Alhasil,  harta si safih itu seakan-akan hartanya sendiri.

Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah  dewasa  dan  harta mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya sebagaimana  layaknya  orang  dewasa  (normal),  dan   dapat menginfakkannya   sesuai   dengan   tuntunan  syariat  untuk kemaslahatan umum atau  khusus,  maka  para  wali  itu  juga mendapatkan bagian pahalanya.

Ketiga,  kesetiakawanan  sosial  dan menjadikan kemaslahatan dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah kami   katakan  dalam  membicarakan  ayat-ayat  yang  lain." (Tafsir al-Manar 4: 379-380)

 

Fatwa-fatwa Kontemporer
- Dr. Yusuf Al-Qardhawi -
Gema Insani Press


Advertisement