Pertanyaan:
Sebagian orang berprasangka buruk terhadap wanita. Mereka menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, "Periksalah kaum wanita!" Bahkan ada pula yang berkomentar, "Wanita merupakan sebab terjadinya penderitaan manusia sejak zaman bapak manusia (Adam) hingga sekarang, karena wanitalah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan atas dirinya dan diri kita sekarang."
Anehnya, mereka juga mengemukakan dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya itu, yang kadang-kadang tidak sahih, dan adakalanya - meskipun sahih - mereka pahami secara tidak benar, seperti terhadap hadits-hadits yang berisi peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:
"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) perempuan."
Apakah maksud hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum wanita dan oleh sebagian lagi untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu) karena bersikap keras terhadap wanita dan kadang-kadang bersikap zalim.
Mereka juga mengatakan, "Sesungguhnya suara wanita - sebagaimana wajahnya - adalah aurat. Wanita dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia."
Kami yakin bahwa tidak ada agama seperti Islam, yang menyadarkan kaum wanita, melindunginya, memuliakannya, dan memberikan hak-hak kepadanya. Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz miliki. Karena itu, kami mengharap ustadz dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits ini kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengerti.
Semoga Allah menambah petunjuk dan taufik-Nya untuk Ustadz dan menebar manfaat ilmu-Nya melalui Ustadz. Amin.
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai istri. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memelihara serta melindunginya sebagai anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai ibu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu. Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian langgarlah (selisihlah)."
Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadits).
Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan itu berpangkal dari wanita."
Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
Sebagian orang berprasangka buruk terhadap wanita. Mereka menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, "Periksalah kaum wanita!" Bahkan ada pula yang berkomentar, "Wanita merupakan sebab terjadinya penderitaan manusia sejak zaman bapak manusia (Adam) hingga sekarang, karena wanitalah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan atas dirinya dan diri kita sekarang."
Anehnya, mereka juga mengemukakan dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya itu, yang kadang-kadang tidak sahih, dan adakalanya - meskipun sahih - mereka pahami secara tidak benar, seperti terhadap hadits-hadits yang berisi peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:
"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) perempuan."
Apakah maksud hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum wanita dan oleh sebagian lagi untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu) karena bersikap keras terhadap wanita dan kadang-kadang bersikap zalim.
Mereka juga mengatakan, "Sesungguhnya suara wanita - sebagaimana wajahnya - adalah aurat. Wanita dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia."
Kami yakin bahwa tidak ada agama seperti Islam, yang menyadarkan kaum wanita, melindunginya, memuliakannya, dan memberikan hak-hak kepadanya. Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz miliki. Karena itu, kami mengharap ustadz dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits ini kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengerti.
Semoga Allah menambah petunjuk dan taufik-Nya untuk Ustadz dan menebar manfaat ilmu-Nya melalui Ustadz. Amin.
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai istri. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memelihara serta melindunginya sebagai anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai ibu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu. Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian langgarlah (selisihlah)."
Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadits).
Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan itu berpangkal dari wanita."
Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
"Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi),
maka mintalah dari belakang tabir ..."(al-Ahzab:
53)
Permintaan
atau pertanyaan (dari para sahabat) itu
sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum
mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa memberi
fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan
meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang ingin mengambil hadits mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
"...
Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia
memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak)
kami ..." (al-Qashash: 25)
Sebelum
itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa
ketika Musa bertanya kepada mereka:
"...
Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita
itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum penggembala-penggembala
itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash:
23)
Selanjutnya,
Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita percakapan yang
terjadi antara Nabi Sulaiman a.s. dengan
Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang
laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'a diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'a diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
"Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang
yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang
baik." (al-Ahzab: 32)
Allah
melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa
membangkitkan nafsu
orang-orang yang hatinya "berpenyakit."
Namun, dengan ini bukan berarti Allah melarang
semua pembicaraan wanita dengan setiap
laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:
"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita."
Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:
"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita."
Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
"...
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ...." (al-Anbiya: 35)
Al-Qur'an
juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang merupakan
kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya -
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..." (at-Taghabun: 15)
"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
Fitnah
harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang harta atau
anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya
dan melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana
dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun
dikhawatirkan terfitnah
oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini Al-Qur'an memperingatkan:
oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini Al-Qur'an memperingatkan:
"Hai
orang-orang beriman, sesungguhnya diantara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,
maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ..." (at-Taghabun: 14)
Wanita-wanita
itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk
membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan
api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang
dikhawatirkan dapat
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:
"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw. hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:
"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR. Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa
mereka sadari.
Catatan kaki:
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam Fatwa-fatwa Kontemporer jilid I ini.^
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:
"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw. hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:
"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR. Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa
mereka sadari.
Catatan kaki:
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam Fatwa-fatwa Kontemporer jilid I ini.^
Fatwa-fatwa Kontemporer
- Dr. Yusuf Al-Qardhawi -
Gema Insani Press
Advertisement