HUKUM TIDUR SATU
RANJANG
[KH. Hafidz Abdurrahman]
Soal:
Bagaimana hukumnya memisahkan anak-anak di tempat tidur? Apa
yang dimaksud dengan ‘satu tempat tidur’? Usia berapa anak harus dipisahkan di
tempat tidur? Bagaimana dengan alasan syahwat yang sering menjadi argumen,
untuk mencegah terjadinya penyimpangan seksual?
Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-tama yang harus
dijelaskan adalah status hukum perbuatan yang membangkitkan syahwat. Sebenarnya
perbuatan yang membangkitkan syahwat ini tidak serta-merta hukumnya haram
semata-mata karena membangkitkan syahwat. Suatu perbuatan dihukumi halal atau
haram harus berdasarkan dalil syariah, bukan karena membangkitkan syahwat atau
tidak. Sebab, syahwat itu tidak haram karena merupakan fitrah di dalam diri
manusia. Karena itu, bangkitnya syahwat juga tidak haram. Demikian halnya
perbuatan yang membangkitkan syahwat juga tidak haram. Tidak ada dalil, baik
dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas, yang menyatakan haramnya
perbuatan yang membangkitkan syahwat.
Memang, ada beberapa perbuatan yang membangkitkan syahwat, dan
hukumnya haram, tetapi keharaman itu terjadi karena adanya dalil yang
menyatakan keharamannya. Misalnya, melihat wanita dengan syahwat, jelas
hukumnya haram. Dalilnya adalah hadis Khats’amiyyah dan tindakan Nabi saw. yang
memalingkan leher Fadhal bin al-‘Abbas dari wanita tersebut. Dengan demikian,
hukum melihat wanita yang disertai syahwat itu jelas haram. Dalil keharaman ini
tidak bisa digunakan, misalnya, untuk menyatakan keharaman melihat wanita tanpa
syahwat, dan melihat selain wanita dengan syahwat. Sebab, nash-nya terkait
dengan melihat perempuan dengan syahwat. Jadi, ini hanya khusus untuk kasus ini
saja, dan tidak bisa dianalogikan pada kasus-kasus lain.
Namun, ada perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina atau
sodomi, seperti kedipan mata, memberi isyarat, mencium dan meraba lawan jenis
atau sejenis (dengan maksud diajak sodomi), maka dengan atau tanpa disertai
syahwat tetap haram. Keharamannya ditetapkan berdasarkan dalil keharaman zina
dan sodomi. Dalil keharaman zina dan sodomi itu meliputi zina dan sodominya itu
sendiri sekaligus perbuatan yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Keharaman ini
bukan karena kaidah, “Al-Wasilatu ila al-haram muharramah” (Sarana yang bisa
mengantarkan pada keharaman adalah juga haram). Namun, karena cakupan dalil
keharaman zina dan sodomi tersebut bisa meliputi keduanya.
Akan tetapi, harus dicatat, suatu perbuatan bisa dikategorikan
dalam cakupan dalil keharaman zina dan sodomi itu harus memenuhi dua syarat.
Pertama: perbuatan itu memang lazimnya menjadi pengantar zina dan sodomi.
Kedua: perbuatan itu dilakukan dengan tujuan untuk berzina atau sodomi. Karena
itu jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka dalil tersebut tidak
bisa digunakan untuk menetapkan status perbuatan tersebut. Misalnya, orang yang
menghadiri ceramah dan ceramah tersebut juga dihadiri perempuan; atau pergi ke
tempat potong rambut yang di sana ada pemuda tampan yang hendak dikontak. Hukum
menghadiri ceramah atau datang ke tempat potong rambut seperti ini jelas tidak
haram. Sebab, baik menghadiri ceramah maupun potong rambut, sama-sama bukanlah
pengantar zina atau sodomi.
Ini penjelasan tentang syahwat, dan perbuatan yang bisa
membangkitkan syahwat, serta hukum syariah tentang keduanya. Berdasarkan
paparan tersebut maka masalah tidurnya dua anak, baik sesama laki-laki,
perempuan, atau laki-perempuan, dalam satu tempat tidur dan satu selimut bisa
dipahami.
Mengenai fakta aktivitas tidur, yaitu tidurnya dua anak dalam
satu tempat tidur (madhja’), tidak diragukan lagi ini merupakan aktivitas yang
menjadi pengantar zina dan sodomi, karena ini merupakan bentuk perbuatan
mudhâja’ah (tidur bersama). Adapun perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama), sudah
jelas, merupakan perbuatan pengantar zina atau sodomi. Karena itu dalam hal ini
berlaku hukum perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina dan sodomi, yaitu
haram.
Merujuk pada dalil larangan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan
tegas telah disebutkan oleh Nabi saw.:
مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في
المَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh
tahun; pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun;
dan pisahkan mereka di tempat tidur.” (HR Abu Dawud).
Rasulullah SAW. memerintahkan kita untuk memisahkan tempat tidur
anak-anak. Padahal tidak ada keraguan sedikitpun, ketika mereka tidur dalam
satu ranjang hal itu belum bisa mengantarkan mereka dalam perbuatan zina atau
sodomi, karena belum ada hasrat (syahwat) untuk itu di usia tersebut. Dengan
begitu, perintah “memisahkan tempat tidur” tersebut lebih diarahkan pada
perbuatannya itu sendiri, yaitu mudhâja’ah (tidur bersama), bukan karena zina
atau sodominya. Karena itu perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama) ini haram.
Adapun keharaman tersebut bersifat umum, bisa sesama laki-laki
maupun sesama perempuan, atau lelaki-perempuan. Sebab, nasnya berbentuk umum.
Dalam bahasa Arab, kata awlâd, jamak dari walad, bisa digunakan untuk anak
laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kata ibn (anak laki-laki) dan bint
(anak perempuan), yang khusus untuk jender masing-masing. Selain faktor kata
awlâd yang berbentuk musytarak, yang bisa berarti anak laki-laki dan perempuan,
kata ini juga berbentuk jamak taktsîr, yang disambung dengan kata ganti
(dhamîr), kum (kalian). Dengan demikian awlâdakum adalah shîghat umum, dengan
konotasi umum.
Jika anak-anak saja dilarang melakukan mudhâja’ah (tidur
bersama), maka larangan yang sama tentu lebih layak untuk orang dewasa. Sebab,
perintah kepada pihak yang lebih rendah juga merupakan perintah kepada pihak
yang lebih tinggi. Ini termasuk dalam kategori: tanbih min al-adna ila al-a’la.
Mengenai perintah “memisahkan tempat tidur” itu sendiri statusnya adalah wajib,
bukan sunnah, apalagi mubah. Karena itu tidak boleh sesama laki-laki atau
perempuan tidur berdua dalam satu ranjang, baik satu ranjang dengan satu
selimut, atau dua ranjang dengan satu selimut, atau satu ranjang dua selimut.
Semuanya termasuk dalam fakta mudhâja’ah (tidur bersama).
Fakta “satu tempat tidur” adalah “satu kasur”, atau “satu selimut”.
Dua orang yang tidur dalam satu kasur meski dengan dua selimut yang terpisah,
atau dua orang yang tidur dalam satu selimut meski dengan dua kasur terpisah,
masing-masing termasuk “satu tempat tidur”. Satu kasur, meski dengan selimut
berbeda, dan terpisah, atau satu selimut, dengan kasur berbeda dan terpisah,
itulah yang menjadikan “satu tempat tidur”. Jadi, yang terpenting dalam konteks
ini adalah fakta kasur dan selimut sekaligus. Inilah yang menjadi patokan “satu
tempat tidur” atau tidak.
Dengan demikian perintah “memisahkan tempat tidur” hukumnya
wajib. Karena itu orangtua dan wali anak-anak tersebut wajib memisahkan tempat
tidur mereka, yakni dengan menjadikan mereka tidur terpisah, masing-masing satu
tempat tidur dan satu selimut secara terpisah. Demikian juga dengan orang
dewasa wajib tidur secara terpisah; mereka haram melakukan mudhâja’ah (tidur
bersama), dengan alasan apapun.
Demikian juga tidak boleh, karena alasan dingin, takut bahaya,
atau miskin, maka mereka tidur dalam satu tempat tidur bersama-sama. Semuanya
ini tidak bisa dijadikan alasan karena perintah atau larangan tersebut bersifat
umum. Kalaupun ada alasan (udzur) yang dibenarkan, maka alasan (udzur) tersebut
harus syar’i, dan dinyatakan oleh nas. Padahal tidak ada alasan (udzur) apapun
yang membolehkan mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut.
Inilah hukum yang berlaku bagi anak-anak. Hukum yang sama juga
tentu berlaku bagi orang dewasa. Dengan demikian tidak boleh ada dua orang
tidur dalam ranjang yang sama, secara mutlak, apapun kondisi dan alasannya.
Mengenai batasan usia, yang menentukan kapan kewajiban tersebut
berlaku, maka pendapat yang rajih menyatakan bahwa berlakunya kewajiban
tersebut saat anak-anak itu berusia tujuh tahun, bukan sejak lahir. Ini
berdasarkan riwayat dari ad-Daruquthni dan al-Hakim:
إذا بَلَغَ أَوْلادُكُمْ سَبْعَ سِنينَ فَفَرِّقوا بَيْنَ
فُرُشِهِمْ، وَإِذا بَلَغوا عَشْر سِنينَ فاضْرِبوهُمْ على الصَّلاة
Jika anak-anak kalian telah menginjak usia tujuh tahun maka
pisahkanlah tempat tidur mereka. Jika mereka menginjak usia sepuluh tahun maka
pukullah mereka karena meninggalkan shalat (HR al-Hakim).
Dengan adanya hadis ini, maka hadis riwayat Abu Dawud yang tidak
menyatakan batasan usia itu dibawa pada hadis yang menyatakan usia. Dengan
demikian kemutlakan hadis yang pertama harus dibatasi dengan hadits kedua.
Karena itu, batasan usia “memisahkan tempat tidur” wajib dilakukan saat
anak-anak berusia tujuh tahun. Mafhûm mukhâlafah-nya, jika belum menginjak usia
tujuh tahun, maka hukumnya tidak wajib.
Kewajiban “memisahkan tempat tidur” ini juga dikecualikan dari
anak laki-laki dengan orangtuanya. Ini berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يُفْضِيَنَّ رَجُلٌ إلَى رَجُلٍ، وَلا امْرَأَةٌ إلَى
امْرَأَةٍ، إلاَّ وَلَداً أوْ وَالِداً
Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan laki-laki
lain, juga perempuan dengan perempuan lain, kecuali dengan anak atau orang
tuanya (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi).
Karena itu, keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut
dikecualikan dari seorang lelaki dengan anak lelakinya, atau bapaknya;
dikecualikan dari seorang perempuan dengan anak lelakinya atau bapaknya. Karena
itu, bapak atau ibu yang tidur dengan anak-anaknya tidak termasuk dalam
keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut. Hukumnya juga tidak makruh.
Secara umum tidak ada masalah.
Karena itu, seorang ibu yang menyusui anaknya di tempat tidur
tidak termasuk dalam kategori larangan “tidur bersama”. Berdasarkan kemutlakan
ayat “yurdhi’na” (menyusui), yang tidak terikat dengan kondisi, apakah dengan
tidur atau tidak.
Semoga yang menuliskan dan menybarkan tulisan ini mendapat pahala dari Allah dan dihitung sebagai amalan baik selama di dunia.
Amiin..
Amiin..
Advertisement