Ironi
yang selama ini terjadi adalah ketika isu kesehatan hanya menjadi menarik
secara politis, saat terjadi kasus malpraktek, biaya obat mahal, dan kuota
rumah sakit yang terbatas. Dari hari ke hari, media cenderung memuat isu-isu
politik, hukum, dan ekonomi. Hal ini seolah diafirmasi dengan belanja negara
tahun 2011 di sektor kesehatan yang hanya sebesar 0,5 persen dari total APBN.
Hak untuk sehat yang termaktub dalam UUD 1945 belum menjadi prioritas para elit
negeri.
Perjanjian
antara Indonesia dengan WTO dalam sektor kesehatan memiliki implikasi dalam
pasar obat. Dengan analisis Depkes bahwa secara geografis pada tahun 2020
Indonesia akan mencapai jumlah penduduk 250 juta jiwa, maka industri obat dalam
negeri akan semakin bergantung pada pasokan obat dari negara maju. Asumsi ini
berlaku terutama ketika industri obat dalam negeri tetap mengimpor bahan baku
obat (BBO) yang mayoritas berasal dari China dan India.
Dari
sisi keterjangkauan harga, akses, dan penggunaan rasional, obat memiliki dampak
langsung terhadap derajat kesehatan. Obat adalah sediaan bahan yang digunakan
dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan
peningkatan kesehatan. Sehingga tak heran apabila pemerintah memprioritaskan kembali
kebijakan obat esensial (generik).
Namun,
meski penggunaan obat esensial kembali digalakkan, ada ancaman lain yakni
ketergantungan industri obat dalam negeri dalam memasok BBO. Data Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa impor
BBO mencapai 96 persen dari kebutuhan industri dalam negeri. Maka dalam pasar
terbuka yang bergantung pada pasokan luar negeri, ancaman fluktuasi harga dan
embargo selalu mengintai. Artinya ada kemungkinan beban negara bertambah dalam
konteks subsidi belanja obat. Padahal kebutuhan terhadap ketersediaan dan
keterjangkauan obat masih tinggi, mengingat data Human Development Index UNDP
tahun 2009 dimana Indonesia menempati posisi 111 dari 182 negara.
Korelasi
antara harga obat yang mahal dengan impor BBO menimbulkan pertanyaan mengapa
jika mampu memproduksi mandiri harus tetap bergantung pada pasokan luar? Di
titik ini, urgensi kemandirian industri obat dalam negeri bersifat strategis
karena menyangkut hajat orang banyak dan visi jangka panjang.
Harmonisasi
antara kebijakan dalam dengan luar negeri perlu dilakukan. Logika sosial
kemasyarakatan dalam pengadaan obat demi tercapainya standar kesehatan mesti
akur dengan logika perdagangan antar negara. Tumpang tindih kebijakan dan
kepentingan hanya akan mengakibatkan obat semakin mahal dan tidak terjangkau.
Advertisement