Oleh
: Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku,
sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI
semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu
saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari
hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di
antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi.
Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di
saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku
mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan
berarti banyak bagiku.
Saat
memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu
kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau
konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris
itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa
terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang
usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran,
atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak
ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek,
orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak
kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git,
gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka
membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe
kan?!"
"Gimana
ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi
lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia
belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi
konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga
yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok
ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut
menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah
mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak
mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan
kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!"
teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada
jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik
di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca.
Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut
Mas Gagah.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi
wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.
"Matiin kasetnya!" kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya
Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!"
aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya
Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar
sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang
tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi
asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh
dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja
dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau
denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir
mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham,
Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita!
Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi
pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil
aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
“Oalah…”
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma
itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas
dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung
untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim.
Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku
iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam.
Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku
yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita,
lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat
beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis,
ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja
melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok
seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku
meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito,
bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah
jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain
Gah?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy
lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy
itu…"
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma.
Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan
menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu
dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino."
Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih
ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak
rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas
Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan
bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati
sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh
salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak
mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita
tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak
menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia,
makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar.
"Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan.
Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk
melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan
menyorongkannya kepadaku.
"Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra.
Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan
tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama.
Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah?
Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba
untuk mengerti ya, Dik Manis?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan
seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi
khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa
orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga
demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua
puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata
batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja.
Kutarik napas dalam-dalam.
"Mau kemana Gita?"
"Nonton sama temen-temen." Kataku
sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang
kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja yuk!"
"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi?
Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu
Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku
diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku
diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana
dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi
rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku
memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil
ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara
beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama
kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman
Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya
Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Gita nggak
dikenalin?" tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab
denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku.
Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir.
"Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan
mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Qur’an atau
bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah,
berarti kakak kamu ikhwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi.
Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you
can see-nya.
"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan
tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa
makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk
perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman
kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya.
"Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis
Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra
memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh, Git. Nggak usah bingung.
Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang
agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah
orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan
benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening
Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia
menjelma begitu dewasa.
"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama
udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan
yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga
kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek
tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya
bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku.
Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan
Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu
deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam
dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas
Gagah!" tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar
sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai
menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah,
"jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari
kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar.
Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa
sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha
menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah.
"Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah
yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah
juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara
Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Gita akhwat atau bukan? Ayo
jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan
panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran
Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia
yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang
hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali
menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara.
Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah
kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam
kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan
sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa
beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang
digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap
langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah
dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas
ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas
Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas
katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!"
kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh
meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik
Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat
lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda
dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,
mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar.
Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin
mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya
Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara
pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding
tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan
perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana
ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam
perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara
pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan
kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar
aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi
denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok
panjang, ketawa nggak cekakaan
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta
Mas Gagah suatu ketika
"Lho, rambut Gita kan udah nggak
trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama
berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku
tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang,"
kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan
dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas
Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama.
Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah
Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang
diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu
pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin
berteriak.
"Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya
bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua
hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat
Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat
bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya
jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz
tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara
tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa
Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang
wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai
identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam
itu sendiri, " kata Mas Gagah
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya
kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama
bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke
kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk
persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira.
Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran
yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat
rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss!
Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "kata
Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya
langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya
malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat
ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong
tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai.
Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang
juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan
lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit
berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah
selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk.
Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang
dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul.
Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit
Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku
lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju
Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah
terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang
kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas
Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
"Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas
Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.
Kataku emosi pada dokter dan suster di
depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku.
"Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara
dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan,
suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada
acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah,
Gita udah menjadi adik Mas yang manis.
Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah
sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang
bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku
berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh
Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah
menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan
Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan
tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk
mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan
saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang
perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku
berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya
seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar.
Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu
begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan
sekali.
"Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah
pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum.
Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…"
ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian.
Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku
keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku
bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan
kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin
pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa
mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman
dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh.
"Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam
tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus
hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah,
aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas
Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul
…Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang
sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku
dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami
rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah.
Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis
sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang
tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang.
Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di
kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya
tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang
menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya,
ya?!"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad
ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak
sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas
Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga
memperoleh umur yang berkah, Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Sahabat sekalian yang suka akan
kisah ini ayo gabung di facebook “Sahabat Mas Gagah” untuk memberi dukungan
agar segera di-filmkan atau kunjungi www.masgagah.com
Advertisement