SALAH satu di antara sederetan musibah atau fitnah
besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah
tersebarnya hadits-hadits palsu, yakni hadits yang dha'if dan maudhu' di
kalangan umat. Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadits
dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi
Hatim ar-Razi, dan lain-lain. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu di seluruh
wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa. Diantaranya adalah
terjadinya perusakan akidah terhadap kaum muslim.
Adakalanya Maksud dari hadits Palsu disusun
sedemikian rupa baiknya namun sebagai kaum yang berpikir tentu tidak akan
menelan mentah-mentah hadits palsu dimana bukan merupakan sunah Rasulullah saw.
Berikut Salah satu hadits Palsu tersebut,
"Barangsiapa shalatnya tidak dapat
mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak menambah sesuatu pun
dari Allah SWT kecuali kejauhan."
Hadits tersebut batil.
Walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi pembicaraan, namun
sanad maupun matannya tidak sahih.
Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh
ath-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab Musnad
asy-Syhab II/ 43, Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab
al-Ka-wakib ad-Darari I/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu
Abbas r.a.. Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak sahih sampai kepada
Rasulullah saw, tetapi hanya mauquf (berhenti) sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a.,
dan merupakan ucapannya dan juga hanya sampai kepada Ibnu Abbas r.a. Karena
itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul-Iman halaman 12, tidak
menyebut-nyebutnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya sampai kepada Ibnu
Mas'ud dan Ibnu Abbas r.a.
Di samping itu, matannya pun tidak sahib sebab
zhahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi syarat
rukunnya. Padahal, syara' tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah,
kendatipun pelaku shalat tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat
maksiat. Jadi, tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru
akan makin menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak masuk
akal dan tidak pula dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah
menakwilkan kata-kata "tidak menambahnya kecuali jauh dari Allah"
jika yang ditinggalkannya itu merupakan kewajiban yang lebih agung dari yang
dilakukannya. Dan ini berarti pelaku shalat tadi meninggalkan sesuatu sehingga
shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Kemudian,
tampaknya bukanlah shalat yang demikian (yakni yang sah dan benar menurut
syara') yang dimaksud dalam hadits mauquf tadi.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut
dha'if, baik dari segi sanad maupun matannya. Wallhu alam bishsbawab.
Sumber Referensi:
Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'
Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah
Muhammad Nashruddin al-Albani
Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah
Muhammad Nashruddin al-Albani
Advertisement