“Dan
adapun nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)
Apabila seseorang memiliki kekayaan
yang digunakannya untuk hidup nyaman dan senang, apakah bersesuaian dengan apa
yang dimaukan oleh ayat di atas?
✔Jawab:
Samahatusy
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah menjawab,
“Makna
ayat tersebut adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya sehingga
beliau bisa bersyukur kepada-Nya dengan ucapan sebagaimana beliau
mensyukuri-Nya dengan amalan.
Menyebut-nyebut
nikmat misalnya seorang muslim berkata, “Sungguh kita dalam keadaan baik,
alhamdulillah.”
“Di
sisi kita ada kebaikan yang banyak.”
“Kita
beroleh nikmat yang sangat banyak, kita harus bersyukur kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala atas nikmat tersebut.”
Ia
tidak boleh berkata, “Kita orang miskin.”
“Kita
tidak punya apa-apa….”, dan sebagainya.
Semestinya, ia bersyukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya. Ia harus
mengakui kebaikan yang Dia berikan kepadanya.
Ia
tidak boleh menyebut-nyebut kefakirannya, seperti mengatakan, “Kami tidak punya
harta, tidak punya pakaian.”
“Tidak
punya ini, tidak punya itu….”
Akan tetapi, ia harus menyebut nikmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diterimanya dan mensyukuri Rabbnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberinya harta dan melapangkan hidupnya, tidak semestinya pakaian dan
makanannya seperti seorang fakir. Seharusnya ia menampakkan nikmat-nikmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam hal makanan, minuman, dan pakaiannya.
Akan
tetapi, tidak boleh dipahami bahwa hal ini berarti membolehkan hidup
berlebih-lebihan yang melampaui batas hingga mencapai ghuluw, sebagaimana tidak
bolehnya israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros).”
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/118—119]
Sumber: Majalah Asy Syariah
www.fastabiq.com
Advertisement