Hamil diluar nikah merupakan aib yang sangat memalukan bagi yang mengalaminya. Namun di jaman sekarang begitu banyak wanita yang mengalaminya karena buruknya pergaulan yang tidak didasari agama. Berpacaran dan melakukan hubungan suami isteri seakan telah menjadi hal yang wajar bagi para remaja masa kini. Lantas bagaimanakah hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil diluar ikatan pernikahan?
Simak jawaban berikut yang dikemukakan oleh KH Hafidz Abdurrahman
Jawab:
Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama: wanita
tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua: wanita
tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan orang
lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan
yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya
ada tiga pendapat.
Pertama: haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki,
Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi;1 termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya,
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Kedua: boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu
Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.2
Ketiga: boleh dinikahi dengan syarat: (1) kehamilannya telah
berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2) bertobat dengan tobatan nashuha. Ini
merupakan pendapat mazhab Hanbali.3
1. Dalil Kelompok Pertama:
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina,
atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas
orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3).
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman
(menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik
dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat
riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’
memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa
dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina
telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah
memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina
atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani
kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya,
maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi
menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan
keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]:
3).”
Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan
(bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).”
Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan
bahwa:pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu
telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan
keduanya.” 4
Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ
يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang
lain.” (HR Abu Dawud).
Selain itu, kelompok ini berpendapat bahwa pernikahan itu
merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut
tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal
dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan.5
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud ra. yang
menyatakan,
“Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian
setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.” 6
2. Dalil Kelompok Kedua:
Pertama: Firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا
بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
“Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari
istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina.” (QS
an-Nisa’ [4]: 24).
Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
“Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.”
Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar
bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu Bakar berkata,
“Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk
menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar, “Seorang pria telah
menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda
ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian
tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan kepadanya.
‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya
dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak
laki-laki tersebut menolaknya.” 7
3. Dalil Kelompok Ketiga.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas
orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3).
Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat
tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan
tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
“Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang
tidak mempunyai dosa.” (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya,
Al-Mughni).8
Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’.
Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan
(bayinya).” (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Dari ketiga pendapat di atas, menurut hemat kami, pendapat yang
paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali, yang
menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat:
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau
bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah
menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya
dilakukan dengan tobat nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi:
Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita
itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya.
Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap
harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi
jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa
‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya
tidak akan diketahui. WalLahu a’lam.
Demikianlah artikel mengenai Hukum Menikahi Dan Menikahkan Wanita Yang Hamil Diluar Nikah yang semoga bisa memberi manfaat bagi kita semuanya..
Sumber Referensi
Muslimah Ideologis
Muslimah Ideologis
Advertisement