Bersedih Tidak Diajarkan Syariat Islam |
Bersedih: Tak Diajarkan Syariat dan
Tak Bermanfaat
Bersedih
itu sangat dilarang. Ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi,
{Dan,
janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati.}
(QS.
Ali 'Imran: 139)
"Janganlah
bersedih atas mereka" (kalimat ini disebut berulangkali
dalam beberapa ayat al-Quran) dan, {Janganlah kamu bersedih sesungguhnya
Allah selalu bersama kita.}
(QS.
At-Taubah: 40)
Adapun
firman Allah yang menunjukkan bahwa kesedihan (bersedih) itu tak bermanfaat
apapun adalah, {Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.}
(QS.
Al-Baqarah: 38)
Bersedih
itu hanya akan memadamkan kobaran api semangat, meredakan tekad, dan membekukan
jiwa. Dan kesedihan itu ibarat penyakit demam yang membuat tubuh menjadi lemas
tak berdaya. Mengapa
demikian?
Tak
lain, karena kesedihan hanya memiliki daya yang menghentikan dan bukan
menggerakkan. Dan itu artinya sama sekali tidak bermanfaat bagi hati. Bahkan,
kesedihan merupakan satu hal yang paling disenangi setan. Maka dari itu, setan
selalu berupaya agar seorang hamba bersedih untuk menghentikan setiap langkah
dan niat baiknya. Ini telah diperingatkan Allah dalam firman-Nya, {Sesungguhnya
pembicaraan rahasia itu adalah dari setan supaya orang-orang mukmin
berduka cita.}
(QS.
Al-Mujadilah: 10)
Syahdan,
Rasulullah s.a.w. melarang tiga orang yang sedang berada dalam satu majelis
demikian, "(Janganlah dua orang di antaranya) saling melakukan
pembicaraan rahasia tanpa disertai yang ketiga, sebab yang demikian itu
akan membuatnya (yang ketiga) berduka cita." Dan bagi seorang mukmin, kesedihan
itu tidak pernah diajarkan dianjurkan. Soalnya, kesedihan merupakan penyakit
yang berbahaya bagi jiwa. Karena itu pula, setiap muslim diperintahkan untuk
mengusirnya jauh-jauh dan dilarang tunduk kepadanya.
Islam
juga mengajarkan kepada setiap muslim agar senantiasa melawan dan menundukkannya
dengan segala pelaratan yang telah disyariatkan Allah s.w.t.
Bersedih
itu tidak diajarkan dan tidak bermanfaat. Maka dari itu, Rasulullah s.a.w.
senantiasa memohon perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari kesedihan.
Beliau selalu berdoa seperti ini,
"Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka cita."
Kesedihan
adalah teman akrab kecemasan. Adapun perbedaannya antara keduanya adalah
manakala suatu hal yang tidak disukai hati itu berkaitan dengan hal-hal yang
belum terjadi, ia akan membuahkan kecemasan. Sedangkan bila berkaitan dengan
persoalan masa lalu, maka ia akan membuahkan kesedihan. Dan persamaannya,
keduanya sama-sama dapat melemahkan semangat dan kehendak hati untuk berbuat
suatu kebaikan.
Kesedihan
dapat membuat hidup menjadi keruh. Ia ibarat racun berbisa bagi jiwa yang dapat
menyebabkannya lemah semangat, krisis gairah, dan galau dalam menghadapi hidup
ini. Dan itu, akan berujung pada ketidakacuhan diri pada kebaikan,
ketidakpedulian pada kebajikan, kehilangan semangat untuk meraih kebahagian,
dan kemudian akan berakhir pada pesimisme dan kebinasaan diri yang tiada tara.
Meski
demikian, pada tahap tertentu kesedihan memang tidak dapat dihindari dan
seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Berkenaan dengan ini,
disebutkan bahwa para ahli surga ketika memasuki surga akan berkata,
{Segala
puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.}
(QS.
Fathir: 34)
Ini
menandakan bahwa ketika di dunia mereka pernah bersedih sebagaimana mereka
tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi di luar ikhtiar mereka. Hanya,
ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk
menghindarnya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala. Itu terjadi,
karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan. Maka
dari itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa
melawannya dengan doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk
mengusirnya.
{Dan,
tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datangkepadamu, supaya
kamu memberi mereka kendaraaan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan.}
(QS.
At-Taubah: 92)
Demikianlah,
mereka tidaklah dipuji dikarenakan kesedihan mereka semata. Tetapi, lebih
dikarenakan kesedihan mereka itu justru mengisyaratkan kuatnya keimanan mereka.
Pasalnya, kesedihan mereka berpisah dengan Rasulullah adalah dikarenakan tidak
mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi
berperang. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang munafik yang tidak merasa
bersedih dan justru gembira manakala tidak mendapatkan kesempatan untuk turut
berjihad bersama Rasulullah.
Kesedihan
yang terpuji — yakni yang dipuji setelah terjadi — adalah kesedihan yang
disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu ketaatan atau dikarenakan
tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan kesedihan seorang hamba yang
disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan dan ketaatan dirinya kepada Allah
sangat kurang. Maka, hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk
menerima hidayah dan cahaya- Nya.
Sementara
itu, makna sabda Rasululllah dalam sebuah hadis shahih yang berbunyi, "Tidaklah
seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan dan kerisauan,
kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian dosa-dosanya," adalah
menunjuk bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari
Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka hamba tersebut akan diampuni
sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadits ini berarti tidak menunjukkan
bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus
diminta dan dirasakan.
Bahkan,
seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan
mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai atau
disyariatkan Allah untuk hamba-Nya.
Sebab,
jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah, pastilah Rasulullah
s.a.w. akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya
dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan
kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak mungkin. Karena,
sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi
senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu
dihiasi dengan kegembiraan.
Memang,
dalam hadist Hindun ibn Abi Halah tentang sifat Nabi s.a.w. disebutkan bahwa, "Sesungguhnya,
dia selalu bersedih". Namun, hadist ini ternyata kurang dapat
dipercaya, sebab dalam silsilah perawinya terdapat seorang perawi yang tidak
dikenal. Selain itu, muatan hadits inipun jelas sangat bertentangan dengan
realitas kehidupan Rasulullah s.a.w.
Bagaimana
mungkin Rasulullah dikatakan selalu dirundung kesedihan?
Bukankah
Allah telah melindungi beliau dari kesedihan yang berkaitan dengan urusan
keduniaan dan semua unsur-unsurnya, melarangnya agar tidak bersedih atas
perilaku orang-orang kafir, dan mengampuni semua dosa-dosanya yang telah
berlalu maupun yang belum terjadi?
Nah,
dari manakah sumber kesedihan itu? Bagaimana pula kesedihan itu dapat menembus
pintu hati beliau? Dan dari jalan manakah kesedihan itu dapat menyusup ke dalam
lubuk hatinya? Bukankah beliau s.a.w. senantiasa hatinya diliputi dzikir, jiwanya
dialiri semangat istiqamah, pikirannnya selalu dibanjiri hidayah rabbaniyah,
dan hatinya senantiasa tenteram dengan janji Allah serta rela dengan semua
ketentuan dan perbuatan Nya? Bahkan, Rasulullah adalah orang yang terkenal
ramah dan murah senyum sebagaimana dilukiskan oleh salah satu gelarnya sebagai
"seseorang yang murah senyum ."
Siapa
saja membaca, menghayati, dan mendalami sejarah perjalanan hidup beliau dengan
seksama dan menyeluruh, maka ia akan mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. diturunkan
ke dunia ini untuk menghancurkan kebatilan, mengusir kesuntukan, kegelisahan,
kesedihan dan kecemasan, serta membebaskan jiwa dari tekanan keragu-raguan,
kebingungan, kegundahan dan keguncangan. Bersamaan dengan itu, beliau juga
diutus untuk menyelamatkan jiwa manusia dari segala bentuk hawa nafsu yang membinasakan.
Maka begitulah, betapa banyaknya karunia Allah yang telah dianugerahkan kepada
manusia.
Ada
sebuah hadist menyebutkan bahwa, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai
hati yang senantiasa bersedih." Namun, hadist ini ternyata tidak memiliki
sanad (jalur periwayatan) dan perawi yang jelas, alias kurang dapat
dipercaya. Singkatnya, hadist ini jelas kurang dapat dipertanggungjawabkan
keshahihannya.
Selain
itu, hadist ini juga tidak dapat dikategorikan shahih karena sangat
bertentangan dengan ajaran agama dan tuntunan syariat. Dan kalau memang khabar
(hadist) itu akan dianggap shahih, maka penjelasannya adalah
demikian: kesedihan itu adalah salah satu musibah dari Allah yang
ditimpakan kepada hamba-Nya untuk mengujinya. Artinya, jika hamba
tersebut mampu menghadapinya dengan kesabaran, maka sesungguhnya Allah
mencintai kesabaran orang tersebut dalam menghadapi cobaan itu.
Demikianlah,
maka merupakan kesalahan besar bagi orang-orang yang memuja kesedihan,
senantiasa berusaha menciptakan kesedihan, dan mencoba membenar-benarkan
kesedihan mereka dengan dalih bahwa syariat telah menganjurkan dan memandangnya
sebagai sesuatu yang baik. Sebab, pada kenyataannya dalil-dalil syariat melarang
hal itu. Bahkan, syariat justru memerintahkan setiap manusia agar tidak
bersedih dan selalu ceria.
Hadits
lain menyebutkan, "Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan
memancangkan sebuah gemuruh ratapan di dalam hatinya. Dan apabila Dia membenci
seorang hamba, maka Dia akan menanamkan seruling nyanyian di dalam
dadanya."
Memang,
hadist ini bersumber dan berasal dari Israiliyat (mitos Bangsa Israel).
Ada pula yang mengatakan bahwa hadits ini termaktub dalam Taurat.
Meski
demikian, perkataan ini memiliki pesan makna yang benar. Sebagaimana sering
kita lihat, orang mukmin akan senantiasa bersedih atas dosa-dosa yang pernah
dilakukannya, sementara orang yang durhaka akan senantiasa lalai, tidak pernah
serius, dan berdendang kegirangan justru karena dosa-dosanya. Dan kalaupun ada
kesedihan yang menimpa orangorang salih, maka itu tak lebih dari sebuah penyesalan
terhadap kebaikankebaikan yang terlewatkan, ketidakmampuan mereka mencapai
derajat yang tinggi dan kesadaran bahwa mereka telah melakukan banyak
kesalahan.
Demikianlah,
alasan yang mendasari kesedihan ini berbeda dengan alas an yang mendasari
kesedihan orang-orang yang durhaka. Mereka bersedih karena tidak mendapatkan
keduniaan, keindahan, dan kenikmatan duniawi. Kesedihan, kegundahan dan
kegelisahan mereka adalah karena keduniaan, untuk keduniaan dan di jalan menuju
keduniaan.
Dalam
sebuah Firman-Nya, Allah menceritakan keadaan seorang nabi dari Bani Israel
demikian,
{Dan,
kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang
menahan amarahnya (kepada anak-anaknya).}
(QS.
Yusuf: 84)
Ayat
ini mengabarkan tentang kesedihan Nabi Ya'qub saat harus kehilangan anak yang
menjadi kekasihnya. Ini merupakan kabar bahwa cobaan tersebut sama beratnya
dengan musibah atau ujian yang dirasakan oleh seseorang saat dipisahkan dengan
buah hatinya. Betapapun, ayat di atas hanya sekadar memberi kabar dan lukisan
tentang beratnya cobaan seorang nabi. Dan itu bukan berarti bahwa kesedihan
seperti itu diperintahkan atau dianjurkan. Bahkan justru sebaliknya, kita
diperintahkan untuk ber-isti'adzah (memohon perlindungan) kepada Allah
dari segala kesedihan. Sebab, bagaimanapun kesedihan adalah lakasana awan
tebal, malam pekat yang panjang, dan aral panjang yang melintang di tangah
jalan ke arah kemuliaan.
Selain
Abu Utsman al-Jabari, semua ahli sufi sepakat bahwa bersedih karena perkara
duniawi itu tidak terpuji. Menurut Abu Ustman, kesedihan —apapun bentuknya—
adalah sebuah keutamaan dan tambahan kebajikan bagi seorang mukmin, yakni dengan
syarat bila kesedihan itu bukan dikarenakan suatu kemaksiatan. la juga
mengatakan, "Bahwa kalau kesedihan itu tidak diwajibkan secara khusus,
maka ia diwajibkan sebagai sarana mensucikan diri."
Syahdan,
ada pula yang berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa kesedihan merupakan
ujian dan cobaan dari Allah sebagaimana halnya penyakit, kegundahan, dan
kegalauan. Namun jika dikatakan bahwa kesedihan adalah tingkatan yang harus
dilalui seorang sufi adalah tidak benar."
Atas
dasar itu, sebaiknya Anda berusaha untuk senantiasa gembira dan berlapang dada.
Jangan lupa memohon kepada Allah agar selalu diberi kehidupan yang baik dan
diridhai, kejernihan hati, dan kelapangan pikiran.
Itulah
kenikmatan-kenikmatan di dunia. Betapapun, sebagian ulama mengatakan bahwa di
dunia ini terdapat surga, dan barangsiapa tidak pernah memasuki surga dunia
itu, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.
Allah
adalah satu-satunya Dzat yang pantas kita mohon agar melapangkan hati kita
dengan cahaya iman, menunjukkan hati kepada jalan- Nya yang lurus, dan
menyelamatkan kita kehidupan yang susah dan menyesakkan.
Dari buku La Tahzan, jangan bersedih.
Karya 'Aidh al-Qarni halaman 48-53 Qisthi Press, 2004.
Yuk Miliki buku La Tahzan Karya ‘Aidh
al-Qarni,
Sangat bermanfaat untuk menata diri
menjadi lebih baik
Advertisement