-->

Menyetubuhi Isteri Yang Telah Selesai Haid Namun Belum Bersuci Apakah Boleh?

Menyetubuhi Isteri Yang Telah Selesai Haid Namun Belum Bersuci Apakah Boleh?
Menyetubuhi Isteri Yang Telah Selesai Haid Namun Belum Bersuci Apakah Boleh?

Menyetubuhi Isteri Yang Telah Selesai Haid Namun Belum Bersuci Apakah Boleh?

Mungkin judul diatas cukup menggelitik namun itulah yang menjadi salah satu daya tarik kepada para pembaca untuk mau membaca isi artikel ini. Agar tidak melakukan segala sesuatu tanpa ada dasarnya. Tanpa mau mengetahui aturan-aturannya dalam Islam
Islam sangat sempurna mengatur segala hal termasuk hal-hal semacam ini. Seseorang yang mau belajar lebih dalam tentu akan mengambil ibroh dari isi artikel ini.

            Lantas bagaimanakah hukumnnya menyetubuhii isteri yang telah selesai haid namun belum bersuci?

            Dilansir dari konsultasisyariah.com, “Bersetubuh dengan istri pada saat haid hukumnya haram. Berdasarkan firman Allah, yang artinya, “Mereka bertanya tentang haid, jawablah, ‘Haid itu kotoran, hindarilah tempat keluarnya darah haid wanita.’” (QS. al-Baqarah: 222). Siapa yang menyetubuhi istrinya pada saat haid, maka dia wajib ber-istighfar dan bertobat kepada Allah, dan dia wajib bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar sebagai kaffarah (penebus) dari perbuatan yang dia lakukan. Sebagaimana keterangan dalam riwayat Ahmad dengan sanad jayyid, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang menggauli istrinya ketika sedang haid, “Dia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” Dan sedekah dengan satu atau setengah dinar, maka itu dibolehkan.

Tidak boleh menyetubuhi istri setelah terputusnya darah haid, tapi belum mandi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia bersuci.” (QS. al-Baqarah: 222). Allah tidak mengizinkan menggauli wanita haid sampai terputus darah haidnya dan bersuci (mandi). Siapa yang menyetubuhi istri sebelum bersuci, maka dia berdosa dan wajib membayar kaffarah.

            Untuk itu kita nukilkan penjelasan Syaikh Mushthofa Al Adawiy Hafidzahullah. Beliau mengatakan,
‘Abdur Rozaq meriwayatkan (1272) dari ‘Umar Hubaib dari Mujahid tentang tafsir Firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ ….
“Dan janganlah kamu mendekati mereka hingga mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang ………………”. (QS. Al Baqoroh [2] :222 )
Beliau Rohimahullah mengatakan,
“Bagi wanita ada dua kesucian, kesucian pertama terdapat dalam firman Allah,
حَتَّى يَطْهُرْنَ
Hingga mereka suci”.
Yaitu jika mereka telah mandi wajib. Sehingga suaminya tidak halal menyetubuhinya hingga dia telah mandi wajib. Allah Subhana wa Ta’alaberfirman,
فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (QS. Al
Baqoroh [2] :222 )
Yaitu di tempat keluarnya darah haidh. Sehingga jika suami tidak menyetubuhi istrinya di tempat tersebut maka dia tidak termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri”.Riwayat ini shohih merupakan perkataan Mujahid Rohimahullah.
Dalil lainnya adalah
‘Abdur Rozzaq Rohimahullah (1274) mengeluarkan riwayat dari Malik dari ‘Abdullah bin Abu Bakr, sesungguhnya Salim bin ‘Abdullah dan Sulaiman bin Yasar keduanya bertanya tentang seorang wanita yang haidh, ‘Apakah boleh suaminya menyetubuhinya jika wanita tersebut telah suci namun belum mandi wajib ? Beliau menjawab, ‘Tidak boleh hingga dia mandi wajib’.
Riwayat ini shohih dari Salim dan Sulaiman[2].

‘Abdur Rozzaq Rohimahullah (1274) mengeluarkan riwayat dari Ibnu Juraij, dia mengatakan, ‘Seseorang bertanya kepada ‘Atho, ‘Seorang wanita yang haid terlihat telah suci dari haidhnya namun belum mandi wajib, apakah halal bagi suaminya menyetubuhinya ?’ Beliau menjawab, ‘Tidak hingga wanita tersebut telah mandi wajib’.
Riwayat ini shohih dari ‘Atho[3].
Kemudian Syaikh Mushtofa Al ‘Adawiy Hafidzahullah menyampaikan pendapat para ulama. Di akhir pembahasan ini beliau mengatakan,

“Aku berpendapat, “Pendapatnya Abu Hanifah Rohimahullah merupakan pendapat yang jauh dari dalil. Pendapat yang benar adalah wanita tersebut wajib mandi wajib jika suaminya ingin menyetubuhinya. Allahu a’lam”[4].

Adapun terkait dengan tobatnya, orang ini wajib bertobat karena melanggar larangan dalam ayat dan tidak mau menaati firman Allah, yang artinya, “Jika mereka (para wanita) telah bersuci maka silahkan datangi mereka (jima’) di tempat yang sesuai dengan perintah Allah kepada kalian.” (QS. al-Baqarah: 222). Tobatnya dengan dia menyesali perbuatan yang dia lakukan, bertekad untuk tidak mengulangi, dan memperbanyak berbuat baik. Karena perbuatan baik bisa menghapus dosa perbuatan buruk. Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha Pengampun dan Penyayang.


Referensi:
1.       (Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab, no. 1202)
Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel 
www.konsultasiSyariah.com
2.       Alhijroh.com
Ditulis oleh Aditya Budiman Bin Usman

Advertisement