Muhammad
Abduh Tausikal (dalam rumaysho.com)
menjelaskan bahwa Iktikaf atau I’tikaf
dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam
waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang
membatasi waktu minimal I’tikaf.
Ibnu
Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam).
… Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada
Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun
lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi
waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu
tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la
bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku
pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat
beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al
Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau
mendiamkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang
kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah
Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat
ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.
Al
Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf
yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid
(walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)
Lalu
apa hikmahnya i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan?
Muhammad
Mutawai Sya’rawi (dalam Anda Bertanya Islam Menjawab) menjelaskan bahwa pada akhir
Ramadhan disunnahkan melakukan ibadah i'tikaf yaitu tinggal di suatu masjid
jami dan tidak berhubungan dengan makhluk. Niat keluar dari rumah menuju
masjid. Meninggalkan keluarga dan rumah tangga untuk munajat kepada Illahi
Rabbi. Menyendiri, menyepi, bertapa hanya kepada Allah swt. menikmati hubungan
batin antara makhluk dengan Khaliknya. Mengisi dan menguatkan jiwa agar penuh
iman, takwa, bakti, rida. Kemudian kembali ke masyarakat dengan semangat dan
tenaga baru. Membiasakan diri meninggalkan keluarga dan segala macam kesibukan,
sebagai satu persiapan keberangkatan menunaikan ibadah haji yang merupakan perjalanan
badaniah dan rohaniah, meninggalkan keluarga, harta benda, anak-anak dan rumah
tangga.
Sumber
Pustaka:
Sya’rawi,
Muhammad Mutawai. 2007. Anda Bertanya Islam Menjawab.
Diterjemahkan Oleh: Abu Abdillah Almansyur. Jakarta. Gema Insani.
Tuasikal,
Muhammad Abduh. 2013. I’tikaf di Malam
Hari, Siangnya Kerja. (online). (Diakses 12 Juli 2015, rumaysho.com)
Advertisement