Hubungan intim yang telah legal asalnya halal
bahkan bisa bernilai pahala. Namun ketika puasa, bersetubuh atau bersenggama
(hubungan intim suami istri) menjadi terlarang bahkan menjadikan puasa seorang
muslim batal. Karena kehormatan bulan Ramadhan, pelanggaran tadi dihukumi
dengan hukuman yang berat dalam kafaroh.
Seorang bertanya kepada Rasulullah
saw., "Ya Rasulullah, saya bersenggama dengan istri dalam keadaan saya
berpuasa."
Rasulullah balik bertanya kepada orang
itu, "Apakah engkau mempunyai seorang budak untuk dimerdekakan?"
Orang itu menjawab, "Tidak!"
"Apakah engkau mampu berpuasa
berturut-turut dua bulan?"
'Tidak ya Rasulullah."
Ditanya lagi, "Apakah engkau punya
makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?"
'Tidak punya!" Mendengar itu
Rasulullah menyuruh sahabat mengambil sebungkus kurma dan diberikan kepada
sipenanya tadi dengan berkata, "Ambillah ini dan bagikan sebagai niat
sedekah."
Pemberian Rasulullah diterima seraya
bertanya, "Apakah saya harus membagikan kurma ini kepada orang-orang yang
lebih miskin dari saya Rasulullah? Demi Allah, saya tidak menjumpai di sini
keluarga yang lebih miskin dari keluarga saya."
Rasulullah tertawa mendengar ucapannya,
lalu berkata, "Baiklah, sedekahkan untuk keluargamu."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
“Suatu
hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas
menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki
seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan
kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah
berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya,
aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan
bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku
berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah,
tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat
gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah
makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Laki-laki mengatakan bahwa dirinya itu binasa,
yaitu karena telah menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan
Ramadhan untuk membayar kafaroh seperti yang disebutkan dalam hadits: (1)
membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan
berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
2- Pembatal puasa lainnya tidak ada kewajiban
kafaroh seperti di atas seperti misalnya ada yang melakukan onani di siang hari
Ramadhan.
3- Yang terkena hukuman adalah bagi yang melakukan
hubungan intim di siang hari Ramadhan, bukan di bulan lainnya. Bentuk kafaroh
ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadhan sebab mulianya bulan tersebut.
Kafaroh ini hanya berlaku bagi puasa di bulan Ramadhan, namun tidak berlaku
pada puasa qodho’ dan puasa sunnah lainnya. Pendapat ini dianut oleh Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau-.
4- Bersetubuh di siang hari mendapat dosa besar
karena dalam hadits disebut sebagai suatu kebinasaan.
5- Kasus yang terjadi dalam hadits amatlah
menakjubkan karena ia mengadu kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam
keadan takut, namun ia balik pulang dalam keadaan senang karena membawa kurma.
6- Tertawa dalam keadaan yang pas, itu terpuji dan
menunjukkan baiknya akal serta menandakan akhlak yang lemah lembut. Sebaliknya
tertawa dalam keadaan yang tidak pada tempatnya, malah menunjukkan kurangnya
akal.
7- Jika seseorang tidak mampu menunaikan kafaroh
lantas orang lain yang menunaikannya, maka itu dianggap sah. Dan kafarohnya
bisa diberikan kepada yang tadi punya kewajiban kafaroh. Namun hadits ini bukan
menjadi dalil bahwa orang yang tidak mampu menjadi gugur kewajibannya. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayarkan kafarohnya. Kafaroh itu
seperti halnya utang, bisa gugur jika pemberi utang menggugurkannya.
8- Jika seseorang berbuat dosa, maka hendaklah ia
segera bertaubat kepada Allah, termasuk pula dalam menunaikan kafaroh.
9- Sekedar memberi makan walau tidak dibatasi
kadarnya dibolehkan. Kalau sudah mengenyangkan 60 orang seperti kasus di atas,
maka sudah cukup.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Sementara jika Bersetubuh di malam hari itu mubah,
dan malam dimulai dengan terbenam matahari sampai terbit fajar. Dahulu hukum di
awal islam Dibolehkan bersetubuh di malam Ramadan selagi belum tidur. Kalau
tidur, maka diharamkan bersetubuh. Meskipun bangun sebelum fajar. Kemudian
Allah memberi keringanan dalam hukum ini dan Dibolehkan bersetubuh di malam
Ramadan secara umum. Hal itu ada dalam firman Allah ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
As-Sa’di rahimahullah berkata di halaman, 87:
“Dahulu diawal kewajiban berpuasa, diharamkan bagi umat Islam makan, minum dan
bersetubuh di waktu malam setelah tidur, dan sebagian (umat Islam) terasa
berat. Kemudian Allah memberi keringanan dari hal itu. Dan Allah memperbolehkan
makan, minum dan bersetubuh pada semua malam. Baik telah tidur maupun belum
tidur. Karena mereka tidak mampu menahan nafsu mereka dengan meninggalkan
sebagian dari apa yang diperintahkan kepadanya. {فتاب} Maka Allah
menerima taubat mereka. Allah melapangkan bagi kalian suatu urusan –dimana
dahulu, jika tidak diberi keluasan- mereka akan terkena dosa (Dan Allah
mengampuni dari kamu semua) apa yang telah lalu. (Maka sekarang) setelah
mendapatkan keringanan dan keluasan dari Allah {باشروهن} cumbulah mereka,
dengan mencium dan menyentuh atau
semisal itu.
{وابتغوا ما كتب الله لكم} maksudnya
saat kalian anda menggauli istri kalian, niatkan karena ingin mendekatkan
kepada Allah Ta’ala dan meraih maksud yang paling agung dari bersetubuh, yaitu
mendapatkan keturunan, juga menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya serta
mendapatkan maksud dari pernikahan.”
Al-Jassas dalam Ahkamul Al-Qur’an’, 1/265
mengatakan, “Maka Dibolehkan bersetubuh, makan dan minum di malam-malam
Ramadan, dari permulaan (malam) sampai terbit fajar.”
Diriwayatkan oleh Bukhari, 4508 dari Barra’
radhiallahu’anhu
لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
"Ketika diturunkan (kewajiban) puasa Ramadan.
Dahulu mereka tidak mendekati istri-istrinya sebulan penuh. Sementara para
suami tidak dapat menahan nafsunya. Maka Allah turunkan ayat (عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ) “Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.”
Al-Hafidz rahimahullah mengatakan, “Perkataan
‘Ketika diturunkan (kewajiban) puasa Ramadan, dahulu mereka tidak mendekati
istri-istri mereka’. Yang tampak dari redaksinya (maksudnya adalah bahwa)
dahulu bersetubuh dilarang seluruh waktu malam dan siang. Berbeda dengan makan
dan minum, dahulu diizinkan makan waktu malam selagi belum tidur. Akan tetapi
hadits-hadits lain yang semakna dengan ini, menunjukkan tidak ada perbedaan.
Sehingga teks ‘Dahulu mereka tidak mendekati istri-istrinya’ mungkin maksudnya
adalah sering. Untuk menggabungkan di antara hadits-hadits yang ada.”
Maksud dari { تَخْتَانُونَ أَنْفُسكُمْ }adalah
menggauli istri, makan dan minum di waktu dimana dahulu haram bagi mereka.
Disebutkan oleh Ath-Thabari dari Mujahid تَخْتَانُونَ أَنْفُسكُمْ adalah
menzalimi dirinya.
Sementara terkait dengan bersetubuh di siang
Ramadan, bagi orang yang wajib berpuasa. Para ulama bersepakat (ijmak) akan
keharaman dan hal itu dapat merusak puasanya.
Semoga bisa diambil manfaatnya….
Wallahu a’lam….
Sumber Pustaka:
Sya’rawi,
Muhammad Mutawai. 2007. Anda Bertanya Islam Menjawab.
Diterjemahkan Oleh: Abu Abdillah Almansyur. Jakarta. Gema Insani
http://islamqa.info/id/49750. Diakses 02
Juni 2015. (online).
akhwat.web.id. Sejarah Pembangunan Ka’bah. Diakses 02 Mei 2015. (online)
Advertisement